I'm here today to show my photographs of the Lakota. Many of you may have heard of the Lakota, or at least the larger group of tribes, called the Sioux. The Lakota are one of many tribes that were moved off their land to prisoner-of-war camps, now called reservations. The Pine Ridge Reservation, the subject of today's slide show, is located about 75 miles southeast of the Black Hills in South Dakota. It is sometimes referred to as Prisoner of War Camp Number 334, and it is where the Lakota now live. Now, if any of you have ever heard of AIM, the American Indian Movement, or of Russell Means, or Leonard Peltier, or of the standoff at Oglala, then you know Pine Ridge is ground zero for Native issues in the US.
Hari ini saya ingin menunjukkan foto-foto dari suku Lakota. Banyak dari Anda belum pernah mendengar suku Lakota, atau setidaknya kelompok suku yang lebih besar yang bernama Sioux. Suku Lakota adalah salah satu dari banyak suku yang terusir dari tanahnya ke barak tahanan perang yang kini disebut "tempat perlindungan" Tempat Perlindungan Pine Ridge, subjek dari slide presentasi hari ini berlokasi sekitar 75 mil ke tenggara dari Black Hill di South Dakota. Tempat ini terkadang disebut Barak Tahanan Perang Nomor 334, dan di sinilah suku Lakota kini tinggal. Jika ada di antara Anda yang pernah mendengar Pergerakan Indian Amerika, atau Russell Means, atau Leonard Peltier, atau pertikaian di Oglala, Anda akan tahu bahwa Pine Ridge adalah pusat dari masalah kaum pribumi Amerika.
So I've been asked to talk a little bit today about my relationship with the Lakota, and that's a very difficult one for me, because, if you haven't noticed from my skin color, I'm white, and that is a huge barrier on a Native reservation. You'll see a lot of people in my photographs today. I've become very close with them, and they've welcomed me like family. They've called me "brother" and "uncle," and invited me again and again over five years. But on Pine Ridge, I will always be what is called "wasichu." "Wasichu" is a Lakota word that means "non-Indian," but another version of this word means "the one who takes the best meat for himself." And that's what I want to focus on -- the one who takes the best part of the meat. It means "greedy."
Jadi saya telah diminta untuk sedikit berbicara tentang hubungan saya dengan suku Lakota dan hal itu sangat sulit saya lakukan. Karena, jika Anda belum menyadarinya dari warna kulit saya. Saya berkulit putih, dan itu adalah penghalang besar dalam tempat perlindungan kaum pribumi. Anda akan melihat banyak orang di foto saya pada hari ini saya menjadi sangat akrab dengan mereka, mereka menyambut saya seperti keluarga. Mereka memanggil saya kakak dan paman dan mengundang saya terus selama lima tahun. Namun di Pine Ridge, saya akan selalu menjadi "wasichu," dan wasichu adalah bahasa Lakota yang berarti non-Indian, namun versi lain dari kata ini adalah "orang yang mengambil daging terbaik untuk dirinya sendiri." Dan itulah yang ingin saya jadikan fokus -- orang yang mengambil daging terbaik. Itu berarti tamak.
So take a look around this auditorium today. We are at a private school in the American West, sitting in red velvet chairs with money in our pockets. And if we look at our lives, we have indeed taken the best part of the meat. So let's look today at a set of photographs of a people who lost so that we could gain, and know that when you see these people's faces, that these are not just images of the Lakota; they stand for all indigenous people.
Jadi lihatlah di sekitar auditorium hari ini. Kita berada di sekolah swasta di barat Amerika duduk di kursi dengan beludru merah dengan uang di saku kita. Dan jika kita melihat pada hidup kita, kita benar-benar telah mengambil bagian daging yang terbaik. Mari kita lihat pada sekelompok foto dari orang-orang yang merugi sehingga kita dapat memperoleh keuntungan dan tahu bahwa saat Anda melihat wajah orang-orang ini ini bukan hanya gambaran dari suku Lakota, namun gambaran dari semua orang-orang pribumi.
On this piece of paper is the history the way I learned it from my Lakota friends and family. The following is a time line of treaties made, treaties broken and massacres disguised as battles. I'll begin in 1824. What is known as the Bureau of Indian Affairs was created within the War Department, setting an early tone of aggression in our dealings with the Native Americans.
Pada selembar kertas ini, ada sejarah yang kita pelajari dari sahabat dan keluarga suku Lakota saya. Selanjutnya adalah urutan waktu dari perjanjian yang dibuat dan dilanggar dan pembantaian atas nama perjuangan. Saya mulai di tahun 1824 Apa yang kini dikenal sebagai "Bureau of Indian Affairs" (Badan permasalahan orang orang Indian) dibuat oleh Departemen Peperangan merupakan awal penyerangan kita dalam berhadapan dengan suku pribumi Amerika.
1851: The first treaty of Fort Laramie was made, clearly marking the boundaries of the Lakota Nation. According to the treaty, those lands are a sovereign nation. If the boundaries of this treaty had held -- and there is a legal basis that they should -- then this is what the US would look like today. Ten years later. The Homestead Act, signed by President Lincoln, unleashed a flood of white settlers into Native lands.
1851: Perjanjian pertama Fort Laramie dibuat, dengan jelas menandai batas-batas Negara Lakota. Menurut perjanjian itu, tanah itu adalah negara berdaulat. Jika perbatasan menurut perjanjian ini dipegang teguh -- dan ada dasar hukum mengapa harus demikian -- inilah peta Amerika Serikat hari ini. 10 tahun kemudian, Undang-Undang "Homestead" yang ditandatangani oleh Presiden Lincoln, membuat kaum kulit putih membanjiri tanah kaum pribumi.
1863: An uprising of Santee Sioux in Minnesota ends with the hanging of 38 Sioux men, the largest mass execution in US history. The execution was ordered by President Lincoln, only two days after he signed the Emancipation Proclamation.
1863: Pemberontakan Santee Sioux di Minnesota berakhir dengan digantungnya 38 pemuda Sioux, eksekusi massal terbesar dalam sejarah Amerika. Eksekusi ini diperintahkan oleh Presiden Lincoln hanya dua hari setelah dia menandatangani Proklamasi Emansipasi.
1866: The beginning of the Transcontinental Railroad -- a new era. We appropriated land for trails and trains to shortcut through the heart of the Lakota Nation. The treaties were out the window. In response, three tribes led by the Lakota chief Red Cloud attacked and defeated the US army, many times over. I want to repeat that part: The Lakota defeat the US army.
1866, awal dari rel kereta api lintas benua -- sebuah era baru. Kita menyisihkan lahan untuk jalan dan rel kereta dengan jalan pintas melewati pusat Negara Lakota. Perjanjian itu tidak lagi dianggap ada. Akibatnya, 3 suku yang dipimpin oleh kepala suku Lakota Red Cloud menyerang dan mengalahkan tentara Amerika Serikat berkali-kali. Saya ingin mengulangi lagi. Suku Lakota mengalahkan tentara Amerika Serikat.
1868: The second Fort Laramie Treaty clearly guarantees the sovereignty of the Great Sioux Nation and the Lakotas' ownership of the sacred Black Hills. The government also promises land and hunting rights in the surrounding states. We promise that the Powder River country will henceforth be closed to all whites. The treaty seemed to be a complete victory for Red Cloud and the Sioux. In fact, this is the only war in American history in which the government negotiated a peace by conceding everything demanded by the enemy.
1868: Perjanjian Fort Laramie kedua dengan jelas menjamin kedaulatan Negara Sioux Raya dan kepemilikan suku Lakota atas Black Hill yang dianggap suci. Pemerintah juga menjanjikan hak tanah dan berburu di negara-negara bagian di sekitarnya. Kita berjanji bahwa negara Powder River tertutup bagi seluruh orang kulit putih. Perjanjian itu tampak seperti kemenangan total bagi Red Cloud dan suku Sioux. Sebenarnya, itu adalah satu-satunya perang dalam sejarah Amerika di mana pemerintah merundingkan perdamaian dengan mengakui semua yang diminta oleh pihak lawan.
1869: The Transcontinental Railroad was completed. It began carrying, among other things, large numbers of hunters, who began the wholesale killing of buffalo, eliminating a source of food, clothing and shelter for the Sioux.
1869: Rel kereta lintas benua selesai. Rel itu mulai membawa, di antara banyak hal, sejumlah besar pemburu yang mulai membunuh kerbau secara besar-besaran menghilangkan sumber makanan, pakaian, dan rumah bagi suku Sioux.
1871: The Indian Appropriation Act makes all Indians wards of the federal government. In addition, the military issued orders forbidding western Indians from leaving reservations. All western Indians at that point in time were now prisoners of war. Also in 1871, we ended the time of treaty-making. The problem with treaties is they allow tribes to exist as sovereign nations, and we can't have that. We had plans.
1871: Undang-Undang "Indian Appropriation" membuka ruang bagi suku Indian dalam pemerintah federal. Sebagai tambahan, militer mengeluarkan perintah melarang suku Indian barat meninggalkan tempat perlindungan. Semua suku Indian barat sejak saat itu menjadi tahanan perang. Di tahun 1871, kita menyudahi era pembuatan perjanjian. Masalahnya adalah perjanjian itu memungkinkan mereka menjadi negara berdaulat, yang tidak dapat kita terima; kita memiliki rencana.
1874: General George Custer announced the discovery of gold in Lakota territory, specifically the Black Hills. The news of gold creates a massive influx of white settlers into Lakota Nation. Custer recommends that Congress find a way to end the treaties with the Lakota as soon as possible.
1874: Jenderal George Custer mengumumkan penemuan emas di daerah Lakota, khususnya di Black Hill. Berita tentang emas mengakibatkan masuknya orang kulit putih dalam jumlah besar ke Negara Lakota. Custer menyarankan agar Kongres mencari cara untuk mengakhiri perjanjian dengan kaum Lakota secepat mungkin.
1875: The Lakota war begins over the violation of the Fort Laramie Treaty. 1876: On July 26th, on its way to attack a Lakota village, Custer's 7th Cavalry was crushed at the battle of Little Big Horn. 1877: The great Lakota warrior and chief named Crazy Horse surrendered at Fort Robinson. He was later killed while in custody. 1877 is also the year we found a way to get around the Fort Laramie Treaties. A new agreement was presented to Sioux chiefs and their leading men, under a campaign known as "Sell or Starve" -- sign the paper, or no food for your tribe. Only 10 percent of the adult male population signed. The Fort Laramie Treaty called for at least three-quarters of the tribe to sign away land. That clause was obviously ignored.
1875: Perang Lakota dimulai karena pelanggaran perjanjian Fort Laramie. 1876: Pada tanggal 26 Juli, dalam perjalanan menyerang sebuah desa suku Lakota, Kavaleri Custer ke-7 dihancurkan dalam pertempuran Little Big Horn. 1877: Ksatria dan kepala suku Lakota hebat bernama Crazy House menyerah di Fort Robinson. Dia kemudian dibunuh dalam tahanan. 1877 juga merupakan tahun di mana kita mendapat jalan mengatasi perjanjian Fort Laramie. Sebuah persetujuan baru diajukan kepada kepala suku dan para pemimpin Sioux di bawah kampanye yang dikenal sebagai "jual atau kelaparan." Tanda tangani atau tidak ada makanan bagi suku Anda. Hanya 10 persen dari pria dewasa menandatanganinya. Perjanjian Fort Laramie menyerukan setidaknya tiga perempat dari suku itu untuk menyerahkan tanahnya. Pasal itu sudah jelas diabaikan.
1887: The Dawes Act. Communal ownership of reservation lands ends. Reservations are cut up into 160-acre sections, and distributed to individual Indians with the surplus disposed of. Tribes lost millions of acres. The American dream of individual land ownership turned out to be a very clever way to divide the reservation until nothing was left. The move destroyed the reservations, making it easier to further subdivide and to sell with every passing generation. Most of the surplus land and many of the plots within reservation boundaries are now in the hands of white ranchers. Once again, the fat of the land goes to wasichu.
1887: Undang-Undang Dawes. Kepemilikan tanah bersama berakhir. Tanah mereka dipotong hingga bagian berukuran 160 hektar dan dibagikan kepada masing-masing suku Indian dengan tanah yang berlebih diambil alih. Suku itu kehilangan jutaan hektar. Impian Amerika bagi kepemilikan tanah pribadi ternyata menjadi cara yang sangat cerdas untuk membagi tempat perlindungan itu sampai tidak bersisa. Langkah ini menghancurkan tempat perlindungan itu, sehingga lebih mudah untuk dibagikan dan dijual setiap pergantian generasi. Kebanyakan tanah yang berlebih dan banyak tanah di dalam tempat perlindungan kini berada di tangan peternak kulit putih. Sekali lagi, lemak dari tanah itu menjadi milik wasichu.
1890: A date I believe to be the most important in this slide show. This is the year of the Wounded Knee Massacre. On December 29, US troops surrounded a Sioux encampment at Wounded Knee Creek, and massacred Chief Big Foot and 300 prisoners of war, using a new rapid-fire weapon that fired exploding shells, called a Hotchkiss gun. For this so-called "battle," 20 Congressional Medals of Honor for Valor were given to the 7th Cavalry. To this day, this is the most Medals of Honor ever awarded for a single battle. More Medals of Honor were given for the indiscriminate slaughter of women and children than for any battle in World War One, World War Two, Korea, Vietnam, Iraq or Afghanistan.
1890, tahun yang saya yakin merupakan tahun paling penting dari presentasi ini. Inilah tahun pembantaian "Wounded Knee." Pada tanggal 29 Desember tentara Amerika Serikat mengepung barak suku Sioux di sungai Wounded Knee dan membunuh Kepala Suku Big Foot dan 300 tahanan perang menggunakan senjata baru yang menembakkan peluru meledak dengan cepat yang bernama senapan Hotchkiss. Untuk sesuatu yang bernama "pertempuran" ini 20 Medali Penghargaan Kongres untuk keberanian dianugerahkan kepada Kavaleri ke-7. Hingga hari ini, itu adalah jumlah medali penghargaan terbesar yang dianugerahkan untuk satu pertempuran. Lebih banyak medali penghargaan dianugerahkan untuk pembantaian membabi buta dari wanita dan anak-anak daripada untuk pertempuran apapun dalam Perang Dunia pertama, Perang Dunia kedua, Korea, Vietnam, Irak, atau Afganistan.
The Wounded Knee Massacre is considered the end of the Indian wars. Whenever I visit the site of the mass grave at Wounded Knee, I see it not just as a grave for the Lakota or for the Sioux, but as a grave for all indigenous peoples. The holy man Black Elk, said, "I did not know then how much was ended. When I look back now from this high hill of my old age, I can still see the butchered women and children lying heaped and scattered all along the crooked gulch, as plain as when I saw them with eyes still young. And I can see that something else died there in the bloody mud and was buried in the blizzard. A people's dream died there. And it was a beautiful dream."
Pembantaian Wounded Knee dianggap sebagai akhir dari Perang Indian. Kapanpun saya mengunjungi tempat kuburan massal di Wounded Knee, saya melihatnya tidak hanya kuburan bagi suku Lakota maupun suku Sioux namun kuburan dari semua orang-orang pribumi. Seorang suci, Black Elk, berkata "saya tidak tahu berapa banyak semua ini telah selesai. Saat saya melihat kembali dari atas bukit ini di usia tua saya, saya masih dapat melihat penjagalan wanita dan anak-anak bertumpuk dan tercerai berai di sepanjang jurang ini sama seperti saya melihatnya ketika mata saya masih muda. Dan saya dapat melihat ada juga yang mati di lumpur penuh darah itu dan terkubur dalam badai salju. Impian orang yang indah telah mati di sini."
With this event, a new era in Native American history began. Everything can be measured before Wounded Knee and after, because it was in this moment, with the fingers on the triggers of the Hotchkiss guns, that the US government openly declared its position on Native rights. They were tired of treaties. They were tired of sacred hills. They were tired of ghost dances. And they were tired of all the inconveniences of the Sioux. So they brought out their cannons. "You want to be an Indian now?" they said, finger on the trigger.
Dengan peristiwa ini, era baru dari sejarah kaum pribumi Amerika dimulai. Semuanya hal sebelum dan sesudah peristiwa Wounded Knee dapat diukur. Karena peristiwa inilah dengan jari ada di pelatuk senapan Hotchkiss pemerintah Amerika telah menyatakan dengan terbuka posisinya pada hak-hak kaum pribumi. Mereka lelah akan perjanjian. Mereka lelah akan bukit-bukit suci. Mereka lelah akan tarian-tarian roh. Dan mereka lelah akan ketidaknyamanan suku Sioux. Sehingga mereka membawa senapan canon mereka, "Anda ingin menjadi Indian sekarang," katanya, dengan jari pada pelatuknya.
1900: the US Indian population reached its low point -- less than 250,000, compared to an estimated eight million in 1492.
1900: Populasi suku Indian Amerika mencapai titik terendah -- kurang dari 250.000 orang dibandingkan dengan kira-kira 8 juta orang di tahun 1492.
Fast-forward. 1980: The longest-running court case in US history, the Sioux Nation versus the United States, was ruled upon by the US Supreme Court. The court determined that when the Sioux were resettled onto reservations and seven million acres of their land were opened up to prospectors and homesteaders, the terms of the second Fort Laramie Treaty had been violated. The court stated that the Black Hills were illegally taken, and that the initial offering price, plus interest, should be paid to the Sioux Nation. As payment for the Black Hills, the court awarded only 106 million dollars to the Sioux Nation. The Sioux refused the money with the rallying cry, "The Black Hills are not for sale."
Kita maju ke masa depan. 1980: Kasus peradilan terpanjang dalam sejarah Amerika Bangsa Sioux melawan Amerika Serikat ditangani oleh Mahkamah Agung Amerika. Pengadilan memutuskan bahwa, saat suku Sioux kembali menghuni tempat penampungan dan tujuh juta hektar tanah mereka dibuka untuk para pencari keuntungan dan transmigran, pasal dari Perjanjian Fort Laramie kedua telah dilanggar. Pengadilan memutuskan bahwa Black Hill direbut dengan ilegal dan harga penawaran awal beserta bunganya harus dibayarkan kepada Bangsa Sioux. Sebagai pembayaran atas Black Hill, pengadilan memberikan 106 juta dolar kepada Bangsa Sioux. Bangsa Sioux menolak uang itu dengan teriakan, "Black Hill tidak untuk dijual."
2010: Statistics about Native population today, more than a century after the massacre at Wounded Knee, reveal the legacy of colonization, forced migration and treaty violations. Unemployment on the Pine Ridge Indian Reservation fluctuates between 85 and 90 percent. The housing office is unable to build new structures, and existing structures are falling apart. Many are homeless, and those with homes are packed into rotting buildings with up to five families. Thirty-nine percent of homes on Pine Ridge have no electricity. At least 60 percent of the homes on the reservation are infested with black mold. More than 90 percent of the population lives below the federal poverty line. The tuberculosis rate on Pine Ridge is approximately eight times higher than the US national average. The infant mortality rate is the highest on this continent, and is about three times higher than the US national average. Cervical cancer is five times higher than the US national average. The school dropout rate is up to 70 percent. Teacher turnover is eight times higher than the US national average. Frequently, grandparents are raising their grandchildren because parents, due to alcoholism, domestic violence and general apathy, cannot raise them. Fifty percent of the population over the age of 40 suffers from diabetes. The life expectancy for men is between 46 and 48 years old -- roughly the same as in Afghanistan and Somalia.
2010: Statistik tentang penduduk pribumi hari ini, lebih dari satu abad setelah pembantaian di Wounded Knee, mengungkapkan peninggalan kolonialisasi, perpindahan penduduk paksa, dan pelanggaran perjanjian. Tingkat pengangguran di Perlindungan Indian Pine Ridge turun naik antara 85 hingga 95 persen. Kantor perumahan tidak dapat membangun rumah baru dan rumah yang ada hancur. Banyak orang menjadi tunawisma dan orang yang memiliki rumah tinggal berdesakan di gedung lapuk hingga lima keluarga. 39 persen rumah di Pine Ridge tidak memiliki listrik. Setidaknya 60 persen rumah di tempat perlindungan ini penuh cendawan hitam. Lebih dari 90 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Tingkat penyakit TBC di Pine Ridge sekitar 8 kali lebih tinggi daripada rata-rata di Amerika Serikat. Tingkat kematian bayi adalah yang tertinggi di benua ini dan sekitar 3 kali lebih tinggi daripada rata-rata di Amerika Serikat. Kanker leher rahim lima kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata Amerika Serikat. Tingkat putus sekolah hingga 70 persen. Tingkat pergantian guru delapan kali lebih tinggi daripada rata-rata di Amerika Serikat. Seingkali, para kakek dan nenek membesarkan cucu-cucu mereka karena orang tua tidak dapat membersarkan anak-anaknya karena alkohol, kekerasan dalam rumah tangga, dan kekerasan lainnya. 50 persen penduduk di atas usia 40 tahun menderita diabetes. Usia harapan hidup bagi pria antara 46 hingga 48 tahun -- kira-kira sama dengan Afganistan dan Somalia.
The last chapter in any successful genocide is the one in which the oppressor can remove their hands and say, "My god -- what are these people doing to themselves? They're killing each other. They're killing themselves while we watch them die." This is how we came to own these United States. This is the legacy of Manifest Destiny. Prisoners are still born into prisoner of war camps, long after the guards are gone. These are the bones left after the best meat has been taken.
Bab terakhir dari semua pembantaian yang sukses adalah di mana pelakunya bisa mencuci tangan dan berkata, "Ya Tuhan, apa yang orang-orang ini lakukan pada diri mereka sendiri? Mereka saling membunuh. Mereka membunuh diri mereka sendiri saat kami melihat mereka mati." Inilah yang kita lakukan untuk menguasai Amerika Serikat. Ini adalah peninggalan dari takdir yang nyata. Tahanan masih dilahirkan menjadi tahanan perang jauh setelah para sipirnya pergi. Masih ada tulang yang tersisa setelah daging terbaiknya diambil.
A long time ago, a series of events was set in motion by a people who look like me, by wasichu, eager to take the land and the water and the gold in the hills. Those events led to a domino effect that has yet to end.
Dahulu, serangkaian kejadian dilakukan oleh orang-orang seperti saya, wasichu yang ingin mengambil tanah dan air dan emas di bukit itu. Kejadian itu menyebabkan efek domino yang belum selesai.
As removed as we, the dominant society, may feel from a massacre in 1890, or a series of broken treaties 150 years ago, I still have to ask you the question: How should you feel about the statistics of today? What is the connection between these images of suffering and the history that I just read to you? And how much of this history do you need to own, even? Is any of this your responsibility today? I have been told that there must be something we can do. There must be some call to action. Because for so long, I've been standing on the sidelines, content to be a witness, just taking photographs. Because the solutions seem so far in the past, I needed nothing short of a time machine to access them.
Seperti perasaan kita sebagai kelompok mayoritas yang telah hilang dari pembantaian di tahun 1890, atau serangkaian pelanggaran perjanjian 150 tahun yang lalu. Saya masih harus bertanya kepada Anda, bagaimana perasaan Anda akan statistik hari ini? Apa hubungan antara gambaran penderitaan dengan sejarah yang baru saya bacakan untuk Anda? Dan seberapa banyak dari sejarah ini yang harus Anda bagi rata? Apakah ini menjadi tanggung jawab Anda sekarang? Saya diberi tahu bahwa pasti ada sesuatu yang dapat kita lakukan. Pasti ada semacam seruan untuk bertindak. Karena sudah lama kita berdiri di sisi jalan puas hanya menjadi saksi, hanya mengambil foto. Karena solusinya terlihat sangat jauh di masa lalu. Saya memerlukan mesin waktu untuk mengaksesnya.
The suffering of indigenous peoples is not a simple issue to fix. It's not something everyone can get behind the way they get behind helping Haiti, or ending AIDS, or fighting a famine. The "fix," as it's called, may be much more difficult for the dominant society than, say, a $50 check or a church trip to paint some graffiti-covered houses, or a suburban family donating a box of clothes they don't even want anymore. So where does that leave us? Shrugging our shoulders in the dark?
Penderitaan dari orang-orang pribumi ini bukanlah masalah yang sederhana. Ini bukan sesuatu yang dapat kita tunda, seperti mereka menunda menolong Haiti, mengakhiri AIDS, atau melawan kelaparan. Perbaikan ini, seperti itulah namanya, mungkin jauh lebih sulit untuk kelompok mayoritas dibandingkan, katakanlah, cek 50 dolar atau perjalanan gereja atau melukis rumah dengan coretan atau keluarga di desa menyumbangkan sekotak pakaian yang mereka tidak mau lagi. Jadi kita harus bagaimana? Mengangkat bahu kita di kegelapan?
The United States continues on a daily basis to violate the terms of the 1851 and 1868 Fort Laramie Treaties with the Lakota. The call to action I offer today -- my TED wish -- is this: Honor the treaties. Give back the Black Hills. It's not your business what they do with them.
Amerika Serikat setiap harinya terus melanggar perjanjian antara tahun 1851 hingga 1868 itu. Perjanjian Fort Laramie dengan suku Lakota. Seruan untuk bertindak yang saya ajukan -- harapan TED saya -- adalah: Hormati perjanjian itu. Kembalikan Black Hill. Apa yang ingin mereka lakukan di bukit itu bukanlah urusan Anda.
(Applause)
(Tepuk tangan)